
Fotografi dan keberaksaraan visual
On 14 June 2020 by Irwandi
Do’s and don’ts within selfies
DON’T DO THE DUCKFACE
Frederikke Lett
https://www.kommunikationsforum.dk/artikler/do-s-and-don-ts-inden-for-selfies
Ketahuilah bahwa di masa “everyone is photographer” saat ini, berfoto diri, baik sendiri maupun bersama-sama masih sangat lekat dengan kesenangan dan kemewahan subjek di dalamnya. “kau ada di sana, kau senang, kau yang bertahan, tanpa kau sadari seperti apa kondisi di sekelilingmu!”
Foto sempat dikatakan sebagai “message without code”, namun belakangan justru sebaliknya, foto ada sebuah entitas penuh kode, penuh implikasi kultural. Mimik wajahmu, pose badanmu, kostummu, hingga formasi jarimu adalah tanda-tanda bermakna.
Ironisnya, kemaha-cepatan perkembangan teknologi fotografi dan keserba-luasan persebaran fotografi tidak diikuti perkembangan literasi visual yang memadahi. Fotografi masa kini jatuh ke tangan dan dibaca oleh manusia-manusia yang tuna aksara visual. Terjadi gegar budaya, gegar fotografi. Implikasi produksi, distribusi, dan konsumsi foto hampir tidak disadari oleh para penggunanya. Padahal foto bukanlah lagi sekadar teks, namun telah “menjelma” menjadi interteks. Tahun 1983, Victor Burgin telah menyadari hal itu dalam Thinking Photography:
”The intelligibility of the photograph is no simple thing; photographs are texts inscribed in terms of what we may call ‘photographic discourse’, but this discourse, like any other, engages discourses beyond itself, the ‘photographic text’, like any other, is the site of a complex ‘intertextuality’, an overlapping series of previous texts ‘taken for granted’ at a particular cultural and historical conjuncture.
Calendar
M | T | W | T | F | S | S |
---|---|---|---|---|---|---|
1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | |
7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 |
14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 |
21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 |
28 | 29 | 30 |